Nyai Anteh



Dahulu kala, di daerah Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama Pakuan. Kerajaan itu subur dan makmur. Kerajaan Pakuan dipimpin seorang raja yang arif dan bijaksana.

Raja Pakuan memiliki seorang puteri bernama Endahwarni. Sang puteri yang sedang beranjak dewasa selalu ditemani seorang gadis yang bernama Anteh. Anteh sebenarnya adalah puteri Nyai Dadap, dayang kesayangan ratu. Nyai Dadap meninggal ketika melahirkan Anteh. Sejak itu Anteh dibesarkan bersama puteri Endahwarni yang lahir tak lama sebelum Anteh.

Walaupun Anteh hanya anak dayang, raja dan ratu sangat menyayanginya seperti anak mereka sendiri. Puteri juga sangat menyayangi Anteh, mereka berdua seperti kakak beradik yang sangat akrab. Bahkan puteri melarang Anteh memanggilnya tuan puteri ketika mereka hanya berdua saja.

Anteh pandai menjahit. Ia sering membuat baju untuk sang puteri. Jahitannya bahkan lebih bagus daripada jahitan penjahit istana.

Pada suatu hari, ratu memanggil puteri Endahwarni dan Anteh.

“Anakku,” kata ratu pada puteri, “Kau sudah dewasa. Kelak kau akan menggantikan ayahmu memimpin kerajaan Pakuan ini. Untuk itu, kau harus segera menikah.”

Ratu kemudian melanjutkan bahwa raja dan ratu telah menerima pinangan putera Adipati dari wilayah timur yang bernama pangeran Anantakusuma. Sebenarnya bukan cuma Anantakusuma yang meminang puteri Endahwarni, banyak pemuda bangsawan yang telah meminta sang puteri untuk dijadikan isterinya,  tapi raja dan ratu memilih Anantakusuma karena ia pemuda yang baik. Selain itu, ia gagah dan tampan, serta memiliki kesaktian yang jarang dimiliki pemuda seusianya.

“Anteh,” kata ratu, “Aku memintamu mendampingi Endah setelah ia menikah nanti. Kaulah yang paling cocok mendampingi kakakmu itu. Pasti kau bisa menjaganya dan memenuhi semua kebutuhannya.”

Pangeran Anantakusuma akan datang untuk menikah dengan puteri Endahwarni beberapa hari lagi. Walaupun sudah mendengar bahwa puteri Endahwarni cantik jelita dan cerdas. tapi Anantakusuma  belum pernah melihat gadis yang akan menjadi isterinya itu.

Pada suatu malam, Anantakusuma menyusup ke taman istana, ingin melihat Endahwarni sebelum mereka menikah. Dengan kesaktiannya, ia melompati tembok taman istana yang tinggi tanpa kesulitan sama sekali.

Anantakusuma bersembunyi di antara tumbuh-tumbuhan di taman. Tiba-tiba ia mendengar suara seorang wanita bersenandung. Anantakusuma pun mencari sumber suara yang merdu itu. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis sedang memetik bunga. Tak ada orang lain di sana, jadi pasti gadis itu yang bersenandung. Anantakusuma memperhatikan gadis itu dari balik tanaman. “Cantik sekali dia. Apakah dia calon isteriku?” katanya dalam hati. Diam-diam Anantakusuma sudah jatuh cinta kepada gadis itu


Beberapa hari kemudian pangeran Antakusuma datang bersama orang tuanya. Hati Anantakusuma berdebar-debar, tak sabar bertemu langsung dengan gadis impinannya.

Betapa kecewanya Anantakusuma ketika tahu bahwa gadis cantik bersuara emas yang dilihatnya di taman bukan Endahwarni tapi Anteh yang hanya dayang istana! Walaupun Endahwarni tak kalah cantik, hati Anantakusuma sudah terpikat pada Anteh. Pandangan matanya terus mengikuti ke mana pun Anteh pergi.

Endahwarni sangat senang dan bahagia melihat Anantakusuma. Tapi ia menjadi sangat kecewa karena dapat merasakan bahwa Anantakusuma menyukai Anteh. Endahwarni yang kecewa dan marah mengusir Anteh ke luar istana hari itu juga. ia bahakan tidak mengijinkan Anteh berpamitan dengan raja dan ratu.

Anteh pergi tanpa tujuan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Di sana ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah baya. Laki-laki itu terus memandangi Anteh dan akhirnya bertanya, “Nak, aku belum pernah melihatmu di sini. Apakah kamu berasal dari daerah sini?”

“Bukan pak, saya datang dari ibukota.”

“Maafkan aku nak, wajahmu mengingatkanku kepada mendiang kakakku. Dia mirip sekali denganmu. Ia dulu dayang istana, namanya Nyai Dadap.”

“Ibuku bernama Nyai Dadap! Ibu juga berasal dari kampung ini. Apakah bapak ini pamanku?”

“Iya, anakku. Aku pamanmu, namaku Waru.”

Pertemuan itu sangat mengharukan.  Anteh dan paman Waru berkaca-kaca. Sang paman kemudian mengajak Anteh tinggal bersama keluarganya di kampung itu.

Anteh kemudian mulai menjahit baju untuk tetangga-tetangganya di kampung itu. Karena jahitannya bagus dan rapi, makin lama makin banyak orang yang meminta dijahitkan baju. Bahkan banyak orang datang dari tempat yang cukup jauh untuk meminta jasa Anteh. Hasil pekerjaan Anteh dapat membantu kehidupan keluarga paman Waru.

Bertahun-tahun berlalu, Anteh sekarang sudah menikah dan dikaruniai dua anak. Pada suatu hari datanglah sebuah kereta kencana di kampung itu. Kereta itu diikuti banyak pengawal. Ternyata kereta berhenti di depan rumah Anteh. Seorang wanita turun dari kereta, langsung lari dan memeluk Anteh sambil menangis.

“Anteh,” kata wanita itu. “Aku mencarimu ke mana-mana! Mengapa kau tidak pernah memberi kabar? Begitu dalam sakit hatimu sampai kau tidak mau lagi bertemu denganku. Maafkan aku,”

“Tuan puteri, tuan puteri tidak bersalah,” kata Anteh sambil menangis.  “Seharusnya sayalah yang meminta maaf.”

“Ijinkan aku menebus kesalahanku,” kata puteri Endahwarni, “Sekarang bersiaplah. Kau ikut aku, kita kembali ke istana.”

“Tuan puteri, saya sudah memiliki suami dan dua anak. Saya tidak bisa meninggalkan mereka.”

“Mereka akan ikut denganmu ke istana.”

“Tapi... saya manjadi penjahit sekarang. Bagaimana dengan pelanggan saya?”

“Aku akan menjadikanmu penjahit istana. Sekarang berangkatlah bersamaku ke istana. Kau tidak boleh menolak,” kata puteri Endahwarni tegas.

Demikianlah, Anteh bersama anak dan suaminya pindah ke istana. Puteri Endahwarni telah menyiapkan sebuah rumah di luar tembok istana.

Di istana, Anteh sering bertemu pangeran Anantakusuma. Walaupun Anteh  bersikap biasa saja, ia merasa tidak enak tiap kali bertemu dengan suami puteri Endahwarni itu. Pangeran mengacuhkan Anteh, tapi ia selalu berusaha bertemu dengan Anteh seolah tanpa sengaja. Dalam hati Anantakusuma bergolak perasaan cintanya kepada Anteh, bahkan lebih kuat daripada ketika pertama kali ia bertemu dengan Anteh.

Pada suatu malam, pangeran Anantakusuma mencari-cari Anteh. Anteh sedang bermain dengan kucing kesayangannya Candramat di taman istana, menikmati indahnya cahaya bulan. Kali ini Anantakusuma sengaja menemui Anteh. Anteh memberi hormat dan segera beranjak meninggalkan taman, tapi Anantakusuma menghalanginya. “Anteh, jangan pergi. Tinggallah di sini bersamaku.”

“Mohon maaf, pangeran,” kata Anteh, “Saya ingin pulang.”

“Anteh, apakah kau tidak tahu bahwa aku mencintaimu?”

“Pangeran, anda adalah suami junjungan saya,” kata Anteh. “Tuan Puteri Endarwarni bahkan menganggap saya sebagai adiknya sendiri.”

“Isteriku tidak akan tahu,” desak pangeran.

Anteh terus berusaha menghindar dari Anantakusuma, sementara pangeran terus mengejarnya. Anteh memeluk Candramat erat-erat. Dalam hati ia memohon kepada yang maha kuasa untuk menolongnya dari kejaran pangeran.

“Jangan, pangeran,” kata Anteh. “Kalau anda menyakiti puteri Endahwarni, anda juga menyakiti aku.”

Anantakusuma berusaha menangkap Anteh. Anteh sekarang benar-benar berlari menjauhi pengeran. Tiba-tiba Anteh merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Langkahnya makin ringan dan tubuhnya tiba-tiba terangkat. Anantakusuma tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya terpana memandang tubuh Anteh meIayang ke bulan bersama Candramat.

Sejak itu Anteh bersama Candramat tinggal di bulan. Anteh sangat merindukan suami dan anak-anaknya. Ia menenun kain yang ingin dijadikan tangga untuk turun ke bumi dan menemui mereka. Sayang sekali, niat Anteh tidak pernah tercapai karena kainnya selalu dihancurkan oleh Candramat.

Konon, pada saat bulan purnama, hingga kini kita dapat melihat bayangan Nyai Anteh sedang menenun bersama kucingnya di bulan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar